Senin, 14 Maret 2011

“Terserah deh”, balasan singkat itu saya kirim, prosesi santap malam pun dilanjutkan. Tidak lama kemudian kawan perempuan saya tadi membalas : “Jangan marah donk, kalau kamu nggak mau nggak apa-apa kok”. Lho, kok tiba-tiba dia berpikir saya marah?

Manusia tidak diciptakan untuk berkomunikasi via teks. Butuh beberapa saat bagi saya menyadari bahwa “terserah deh” tadi punya sejumlah kanal konotasi. Dengan elaborasi, konteks pesan saya tadi adalah ‘terserah, apapun keputusanmu, aku bisa ngerti’. Tanpa sarkasme. Namun teman saya menangkapnya sebagai ‘terserah. lu mau dinner bareng Sumanto juga gue kaga peduli‘.

Lost In Transition

Ada seorang klien yang nampak amat menyebalkan sepanjang kami berdua terikat dalam obrolan via surat elektronik. Setelah sejumlah fase tidak berhasil menciptakan rapport, saya menemuinya di sebuah kafe. Perbincangan singkat selama lima belas menit di gerai kopi itu mengakhiri seluruh kesalahpahaman yang terjadi. Kami mengakhiri pertemuan dengan kesepakatan yang friendly.

Sebelumnya, saya berpikir dia orang menyebalkan. Sementara dia menduga saya apatis terhadap masalahnya. Dari mana kami berdua mendapatkan kesimpulan itu? Dari asumsi ngawur.

Ada kecenderungan bagi resipien untuk menerjemahkan e-mail atau SMS sesuai dengan emosinya saat itu. Demikian pula, ada kecenderungan pengirim untuk merasa yakin bahwa resipien paham seperti apa emosinya saat mengirimkan pesan tadi. Sayangnya, pandangan egois itu keliru. Emosi pengirim tidak serta merta ikut tertranslasi bersama teks yang mereka kirim.

Riset yang dilakukan Nicholas Epley dan Justin Kruger cukup mewakili. Riset tersebut menyatakan bahwa 80% penulis e-mail yakin bahwa e-mailnya tidak akan disalahpahami. Demikian pula 90% penerima e-mail yakin bahwa mereka tidak mungkin salah dalam mengintepretasikan e-mail yang mereka terima. Faktanya, hanya 50% e-mail yang berhasil diintepretasikan secara akurat.

Artinya, peluang anda menangkap intensi lawan bicara via teks hanyalah fifty-fifty.

Oke! Tetapi teks hanya sebagian kecil dari komunikasi kita kan? Tidak juga. Sekarang coba hitung berapa banyak kenalan anda yang selama ini berkomunikasi dengan anda hanya via online?

Ada peluang bahwa selama ini mereka telah salah memahami kepribadian anda.

Asumsikan sepertiga dari mereka salah paham dengan poin tertentu dari sifat anda. Apakah orang yang membenci anda di dunia maya itu benar-benar membenci anda atau hanya termakan asumsi mereka sendiri? Demikian pula sebaliknya, bagaimana dengan orang yang menyukai anda? Tidak cukup sampai sini, bagaimana dengan orang yang anda benci di dunia maya? Apakah anda hanya salah mengintepretasikan? Bagaimana dengan orang yang anda sukai di dunia maya?

Texting Is Flawed

Satu karakter saya yang tenggelam dalam percakapan online adalah kharisma. Butuh usaha untuk memancarkan charm ke dalam tulisan-tulisan saya. Di dalam blog seperti ini, hal itu agaknya bisa diminimalisir karena kebebasan berekspresi lumayan besar. Namun bagaimana dengan SMS yang hanya 160 karakter? Kita tidak punya banyak pilihan.

Kharisma hanyalah salah satu trait. Bagaimana dengan sifat-sifat yang lainnya?

Hanya 7% efektivitas komunikasi ditentukan oleh faktor verbal, 93% sisanya ditentukan faktor non-verbal yang meliputi intonasi, ekspresi, dan gestur.

Barangkali karena alasan serupa, Scott Fahlman menciptakan smileys emoticons. Meskipun cukup membantu, emoticons tidak cukup untuk memecahkan permasalahan ini.

Sebuah riset lain menyatakan bahwa faktor verbal hanya menentukan 7% efektivitas komunikasi sementara 93% sisanya ditentukan faktor non-verbal. Termasuk di antaranya intonasi, raut muka, dan gestur. Dengan berdialog melalui teks, berarti anda mengharapkan lawan bicara menangkap intensi anda dengan hanya memberikan 7% clue. Bisa? Mungkin bisa. Namun peluang untuk salah mengintepretasikan juga sangat besar. Lima puluh persen, menurut eksperimen sebelumnya.

Itulah mengapa texting, berdialog via teks, adalah moda komunikasi yang buruk. Sangat buruk.

Pengalaman bersama klien tadi mengingatkan saya untuk sedapat mungkin bertatap muka dahulu dengan lawan bicara. Minimal engage dalam dialog singkat, sebelum memulai percakapan melalui e-mail atau SMS. Jangan sampai kesan pertama dibangun melalui teks, karena hal itu akan mudah disalahartikan. Karena kesan pertama biasanya menjadi pondasi hubungan selanjutnya.

Apakah anda lebih suka berkirim teks daripada menelepon atau bertemu?

http://wirawan.blogsome.com/

0 komentar:

Posting Komentar