Jumat, 24 September 2010

Perpustakaan, Buku, dan Minat Baca
Oleh:
Deny Riana

Konon, Julius Caesar, raja Roma, pernah menyerang ke Mesir. Namun, ternyata Mesir memiliki tentara yang amat kuat. Saking kuatnya, dia pun beserta pasukannya terjepit. Dalam keadaan terjepit itulah, Julius Caesar memiliki ide untuk menghindari musuh, yaitu dengan cara membakar perpustakaan besar Mesir yang bernama Alexandria. Berhasilkah dia?
Ya, ternyata Caesar berhasil meloloskan diri dari kepungan tentara Mesir. Rupanya dia tahu betul, bahwa orang-orang Mesir sangat menghargai perpustakaannya.
Dari cerita di atas, tersirat bahwa perpustakaan yang berisi sekumpulan buku yang disusun secara sistematis (pada waktu itu berupa papyrus) merupakan sesuatu yang sangat berharga. Bahkan harganya jauh lebih tinggi dari seorang raja Roma sehingga mereka rela meloloskan musuhnya demi untuk menyelamatkan perpustakaan yang terbakar.
Mereka sadar, melalui perpustakaan, pengetahuan yang mereka peroleh dapat diwariskan ke generasi berikutnya dan digunakan sebagai jembatan perantara dalam meningkatkan terus peradabannya ke tingkat yang lebih tinggi.
Ketika kita berbicara tentang perpustakaan, tentu tidak akan lepas dari isinya, yakni buku (pada umumnya). Secara fungsional, buku merupakan alat komunikasi tulisan yang dirakit dalam satu satuan atau lebih agar pemaparannya sistematis, sehingga isi maupun perangkat kerasnya bisa lestari. Segi pelestarian inilah yang membedakan buku dari alat komunikasi tulisan lain yang lebih pendek umurnya
Melalui buku, seluruh hasil cipta, karsa, dan karya manusia dapat dilestarikan. Dari buku pula peradaban manusia berkembang. Di dalam buku tersimpan rekaman-rekaman teori yang bisa melahirkan suatu teori baru
Bukankah setiap penemuan suatu teori baru selalu dilandasi oleh teori sebelumnya? Sebagaimana yang diakui oleh ilmuwan ahli Issac Newton. Ilmuwan besar ini pernah berkata, "Jika saya mampu melihat jauh, maka hal itu disebabkan karena saya berdiri di pundak para jenius terdahulu"
Dalam perkembangan peradaban manusia, buku memang memiliki kekuatan yang dahsyat. Kendati demikian, kedahsyatan buku tentu tidak akan ada apa-apanya jika benda tersebut hanya dipajang, tidak pernah disentuh dan dibaca. Dan tampaknya, inilah masalah kita saat ini.
Meskipun persentase penduduk buta aksara setiap tahun cenderung menurun, namun menurut data terakhir (tahun 2002), diketahui masih ada 18,7 juta penduduk Indonesia usia 10 tahun ke atas yang buta huruf. Hal ini masih diperparah dengan kenyataan, bahwa setiap tahun ada 250-300 ribu siswa kelas 1, 2, dan 3 SD yang putus sekolah.
Sementara itu, pada tahun 2000 organisasi International Educational Achievement (IEA) menempatkan kemampuan membaca siswa SD Indonesia di urutan ke-38 dari 39 negara. Atau terendah di antara negara-negara ASEAN. Dengan kondisi seperti itu, maka tak heran bila kualitas pendidikan di Indonesia juga buruk. Dalam hal pendidikan, survei The Political and Economic Risk Country (PERC), sebuah lembaga konsultan di Singapura, pada akhir 2001, menempatkan Indonesia di urutan ke-12 dari 12 negara di Asia yang diteliti.
Tampaknya, dalam soal penyediaan buku dan pengembangan minat baca, Indonesia masih mengalami beberapa kendala. Pertama, jumlah penerbitan buku di Indonesia masih timpang dibandingkan dengan jumlah penduduk. Dalam setahun, penerbitan buku di seluruh dunia mencapai satu juta judul buku. Tetapi untuk Indonesia, paling tinggi hanya mampu mencapai sekitar lima judul.
Berdasarkan data dari Intenational Publisher Association Kanada, produksi perbukuan paling tinggi ditunjukkan oleh Inggris, yaitu mencapai rata-rata 100 ribu judul buku per tahun. Tahun 2000 saja sebanyak 110.155 judul buku.
Posisi kedua ditempati Jerman dengan jumlah judul buku yang diterbitkan pada tahun 2000 mencapai 80.779 judul, Jepang sebanyak 65.430 judul buku. Sementara itu, Amerika Serikat menempati urutan keempat. Indonesia pada tahun 1997 pernah menghasilkan lima ribuan judul buku. Tetapi, tahun 2002 tercatat hanya 2.700-an judul. Sangat jauh apabila dibandingkan dengan produksi penerbitan buku tingkat dunia.
Kedua, minimnya jumlah perpustakaan yang kondisinya memadai. Menurut data dari Deputi Pengembangan Perpustakaan Nasional RI (PNRI) dari sekitar 300.000 SD hingga SLTA, baru 5% yang memiliki perpustakaan. Bahkan diduga hanya 1% dari 260.000 SD yang mempunyai perpustakaan. Juga baru sekitar 20% dari 66.000 desa/kelurahan yang memiliki perpustakaan memadai (Kompas, 25/7/02).
Membaca merupakan kegiatan dan kemampuan khas manusia. Walaupun demikian, kemampuan membaca tidak terjadi secara otomatis karena harus didahului oleh aktivitas dan kebiasaan membaca yang merupakan wujud dari adanya minat membaca.
Ketakpedulian kita akan aktivitas membaca boleh jadi akibat dari kondisi masyarakat kita yang pergerakannya melompat dari keadaan praliterer ke dalam masa pascaliterer, tanpa melalui masa literer. Artinya dari kondisi masyarakat yang tidak pernah membaca akibat tidak terbiasa dengan budaya menulis (terbiasa dengan budaya lisan) ke dalam bentuk masyarakat yang tidak hendak membaca seiring masuknya teknologi telekomunikasi, informatika, dan broadcasting. Akibatnya, masyarakat kita lebih senang nonton televisi daripada membaca.
Kondisi ini diperburuk dengan semakin tidak pedulinya orang tua akan aktivitas membaca. Semakin banyak keluarga yang kedua orang tuanya sibuk bekerja sehingga mereka tidak lagi mempunyai cukup waktu dan energi untuk mendekatkan anaknya dengan buku, lewat mendongeng misalnya. Ironisnya ketika anak mulai masuk sekolah, materi baku kurikulum sering membuat guru tidak mempunyai ruang gerak untuk berkreasi. Akhirnya mereka hanya terpaku pada satu buku wajib.
Seperti halnya kegiatan pembelajaran yang lain, upaya menumbuhkan minat baca juga akan lebih mudah dan efektif apabila dilakukan sejak dini, sejak kanak-kanak. Ini artinya orang tua sangat dituntut keikutsertaannya. Orang tua harus memastikan bahwa kecintaan akan membaca adalah tujuan pendidikan yang terpenting bagi anaknya.
Tentu saja, upaya orang tua akan lebih optimal apabila didukung oleh pihak lain. Dari pihak penerbit buku misalnya, dari segi kualitas perwajahan, ilustrasi, isi, dan cara penyajian hendaknya dapat terus diperbaiki. Hal ini ditujukan untuk meningkatkan ketertarikan anak.
Dari pihak sekolah, hendaknya diterapkan sistem pendidikan yang menimbulkan kegairahan belajar. Misalnya dengan mendorong pendidik untuk memberi penugasan dan anak didik mencari jawabannya, antara lain di perpustakaan. Hingga sejauh ini perpustakaan belum dimanfaatkan secara maksimal sebagai sumber ilmu pengetahuan.
Oleh karena itu, masih diperlukan usaha keras untuk mendorong anak berkenalan dengan perpustakaan sejak dini. Bahkan, perkenalan pertama anak dengan perpustakaan dapat dilakukan di rumah melalui pembuatan perpustakaan keluarga. Anak yang terbiasa melihat buku dan kebiasaan membaca dari orang tuanya akan membuat mereka gemar membaca.
Dari pihak media massa (terutama radio/TV) hendaknya tidak saja mengeluarkan iklan layanan masyarakat mengenai ajakan membaca, tetapi harus juga mulai membuat program promosi membaca (reading promition). Sebuah program yang berkaitan dengan sebuah buku tertentu.
Barangkali, itulah usaha yang dapat dilakukan untuk mempersiapkan generasi bangsa ini dalam menghadapi masa depan yang penuh persaingan. Ibarat kata pepatah, "Akan lebih mudah meluruskan batang pohon ketika ia masih kecil daripada meluruskannya setelah tumbuh menjadi besar." Wallahu a'lam.

Selasa, 20 Juli 2010

“Kalau nanti gituan jangan ngariel,” kata seorang kawan saya. Istilah ngariel yang jelas tidak baku secara bahasawi ini kurang lebih bermakna merekam adegan senggama dari sudut pandang orang pertama. Singkatnya, video porno berdikari.

Ketika sudah sampai ranah seksual, bangsa ini paling gemar angkat bicara. Tidak terkecuali ketika adegan yang melibatkan tiga serangkai Ariel, Luna, dan Tari merebak. Tabu. Tidak sesuai budaya bangsa. Memalukan. Kata mereka. Ini bukan tulisan soal Ariel. Ini tulisan soal kita sebagai bangsa yang sebelumnya tidak pernah malu-malu mengekspos kemaluan.

Kultur Indonesia

Kaisar Romawi membangun toilet umum berukuran raksasa di jantung kota. Di sanalah penduduk Romawi terbiasa jongkok buang air besar rame-rame di ruang terbuka. Ya. Mereka melakukannya sambil ngobrol seakan-akan itu adalah hal yang alami. Ralat. Karena hal itu memang alami.

Namun entah sejak kapan manusia mulai menyerukan nilai-nilai moral yang berbeda. Yang mana kini kita semua juga manut : ketelanjangan itu kotor, seksualitas itu tabu, dan hasrat seksual itu berbahaya. Segala sesuatu yang membangkitkan hasrat seks harus diberantas.

Bicara hikayat seks, penduduk nusantara ini dahulu bukanlah bangsa yang malu-malu bicara soal persetubuhan dan ketelanjangan. Katakanlah Candi Sukuh yang sohor itu, empat puluh kilometer dari kota kelahiran saya, kerap dilabeli sebagai candi porno. Mengapa? Sebab setiap elemen candi tersebut secara frontal memamerkan ketelanjangan dan persetubuhan. Seksualitas publik.

Jangan heran apabila ketika melangkah masuk kita disambut dengan relief yang menggambarkan sosok pria dan wanita yang sedang bermasturbasi, arca penis setinggi satu meter yang senantiasa ereksi selama enam abad, dan pahatan sepasang penis dan vagina yang serba blak-blakan.

Adakah itikad jorok di sana? Tentu saja tidak. Candi tersebut pada hakekatnya adalah altar ibadah yang disucikan. Seksualitas ditanggapi sebagai suatu hal yang lumrah. Sekali lagi, karena hal itu sebenarnya memang lumrah.

Candi Sukuh bukanlah perkecualian. Di Jawa Timur juga ada Candi Panataran yang menampilkan relief adegan-adegan mesra persetubuhan antara Panji dengan Candrakirana. Keduanya hanyalah contoh dari sekian banyak peninggalan erotisme nusantara. Intinya, seksualitas bukanlah sesuatu yang tabu untuk dipertontonkan di ruang publik pada saat itu.

Erotisme mendarah daging di nusantara, bukan semata peninggalan Hindu dan Buddha. Di bawah pemerintahan Susuhunan Pakubuwono V, sejumlah pujangga mengarang kitab legendaris berjudul Suluk Tambangraras Amongraga atau Serat Centhini, di antaranya Raden Ngabehi Ranggawarsita yang masyhur dan Kyai Haji Muhammad Ilhar.

Serat Centhini adalah Kamasutra versi Indonesia.

Isinya sama sekali tak ditutup-tutupi. Mulai dari panduan agar wanita mencapai orgasme, titik-titik sensitif pada tubuh wanita, cara pria mencegah ejakulasi dini, dan berbagai gaya senggama. Tidak tersirat sama sekali rasa malu, apalagi pandangan seksualitas sebagai ihwal yang kotor.

Zaman Victoria

Ketika bangsa-bangsa Timur sudah mampu menyikapi seksualitas secara dewasa, tidak demikian halnya dengan bangsa-bangsa Barat. Bangsa Britania, misalnya, sempat terkurung oleh pemikiran puritan pada era Victoria : seksualitas adalah tabu dan hasrat seks itu berbahaya. Segala hal yang dianggap mampu membangkitkan hasrat seksual harus ditutupi, bahkan dibasmi.

Saya tidak langsung menghakimi, namun ada kalanya pembatasan ibarat pedang bermata dua.

Kita belajar dari sejarah Victoria. Pada era tersebut, seksualitas menjadi urusan yang diharamkan publik. Bukan lagi urusan pribadi. Ratu Inggris menganggap tubuh wanita sebagai cermin kesucian dan mewajibkan seluruh wanita menutup tubuhnya. Masyarakat dipaksa bernaung di bawah strict moral code yang menggambarkan seksualitas sebagai hal yang tabu.

Akibatnya? Usaha mengatur moral masyarakat ini justru membuat seks menjadi bombastis. Setiap hal yang berbau seks menjadi spektakuler. Masyarakat mengharamkan namun secara manusiawi mereka tentu saja menikmatinya. Ini karena hasrat seksual itu sejatinya adalah alamiah!

Ironisnya, bangsa Indonesia berada di sana sekarang. Kita mundur dua abad.

Saya tidak terkejut ketika melihat masyarakat mencaci-maki Ariel karena tindakannya, sementara mereka tetap menonton videonya. Karena penasaran, katanya. Itulah. Hipokrit. Seksualitas yang seharusnya sesuatu yang alamiah sudah berubah menjadi komoditas yang sensasional. Ini karena masyarakat kita dikekang dan bukan diedukasi.

Saya jadi teringat kepada tulisan Gunawan Muhammad yang mengisahkan kunjungannya ke Arab Saudi. Istri beliau yang berpakaian serba tertutup, bercadar, berjalan melintasi jalanan di Riyadh ketika tiba-tiba dua buah mobil penuh laki-laki mengikutinya dan mengitarinya. Seluruh mata yang ada di mobil itu nyalang memelototi perempuan yang tubuhnya tertutup itu. Ya. Tertutup.

Barangkali hal tersebut bisa menjadi contoh ironi masyarakat puritan.

Tidak ingin saya mengomentari video Ariel dan Luna. Namun melihat reaksi masyarakat kita yang menyedihkan, saya merasa ada yang salah di dalam edukasi bangsa ini. Yang saat ini dibutuhkan oleh bangsa Indonesia bukanlah pengekangan. Segala bentuk pengekangan hanya akan membuat seks menjadi semakin bombastis. Segala hal berbau seks justru akan menjadi sensasi, apalagi di tengah derasnya arus informasi yang hampir mustahil dibendung.

Bangsa ini perlu kembali ke titahnya untuk tidak puritan menyikapi seks. Kita butuh edukasi.


by Wirawan Winarto http://wirawan.blogsome.com

Jalan di depan tempat tinggal saya sedang ditambal. Barangkali ini bagian dari permbenahan jalan berjamaah yang diprakarsai Pemkot Bandung. Alih-alih ditambal setengah demi setengah, jalanan di depan rumah ini diblokir total. Alhasil tiga hari kendaraan saya tidak bisa keluar rumah.

Artinya, saya harus melewatkan hari-hari saya tanpa pergi jauh-jauh. Atau lebih tepatnya berkutat dengan kompiler di dalam kamar. Andai tiada perubahan, saya seharusnya sudah menyelesaikan tugas akhir saya esok pagi. Seminggu kemudian, menyelesaikan bukunya. Dengan terkurungnya saya, semoga saja ada akselerasi yang signifikan di dalam proses pengerjaannya.

Shallow Thoughts

Satu, beberapa orang yang paling menarik, paling menyenangkan, dan paling bahagia yang saya kenal justru tidak tahu apa yang harus mereka lakukan dengan hidup mereka di masa depan.

Dua, filosofi kehidupan mengenal dua jenis batu : batu sandungan dan batu loncatan, yang mana itu tergantung orang yang melihatnya.

Tiga, lakukanlah setidaknya satu hal gila setiap hari.

Empat, banyak orang mengatakan bahwa terorisme yang terjadi akhir-akhir ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan agama. Jangan berharap sanggup menuntaskan suatu masalah, apabila kita sendiri tidak mau mengakui akar permasalahannya.

Lima, segala ide muncul dalam bentuk yang radikal. Dari radikal menjadi progresif, dari progresif menjadi liberal, dari liberal menjadi biasa, dari biasa menjadi konservatif, dari konservatif menjadi klasik, dari klasik menjadi ketinggalan zaman, dan akhirnya lenyap ditinggalkan.

Enam, ada dua metode kalkulasi pola makan : dengan satuan kalori dan dengan satuan rupiah.

Tujuh, saya amat menyukai rancangan kamar dan meja kerja saya yang minimalis. Namun entah kenapa banyak orang yang menganggapnya membosankan. Ya, desain itu subjektif.

Delapan, “Suatu proyek yang terencana dengan baik, akan makan waktu dua kali lebih lama dari rencana semula. Yang tidak terencana dengan baik, tiga kali.” - dosen advisor saya di IT Telkom.

Sembilan, game programmer juga harus bermain game. No excuse.

Sepuluh, dulu saya merasa bahwa, sebagai seorang insinyur atau ilmuwan, adalah unik memakai pakaian kaos santai dan jeans ketika bekerja. Bukan kemeja formal atau jas laboratorium. Namun saya keliru. Ternyata hampir semua insinyur dan ilmuwan memang berpakaian seperti itu.

Nice Ponderings

Sebelas, lagu evergreen paling menarik yang saya dengar apabila dimainkan secara instrumental adalah Rain And Tears (Demis Roussos) dan Rhythm of The Rain (The Cascades). Kedua nyanyian sama-sama berkisah tentang hujan. Kebetulan? Ya.

Dua Belas, dan yang buruk tanpa lirik adalah Tears In Heaven (Eric Clapton).

Tiga Belas, menarik : Selandia Lama terletak di Belanda, 19.000 kilometer dari Selandia Baru.

Empat Belas, hal yang tidak mungkin dikatakan oleh seorang pria pada sebuah pesta : “Ayo kita pulang sekarang. Aku malu. Di dalam sana ada cowok lain yang juga memakai tuxedo yang sama persis dengan yang aku pakai.” Karena kami tidak peduli dengan hal itu. Tidak pernah.

Lima Belas, KFC menghidangkan spaghetti di dalam gelas. Unik. Inovatif. Berselera rendah.

Enam Belas, Cie Rasa Loom, rumah makan Aceh, menjual Soto Betawi. Serius.

Tujuh Belas, jika anda suka berada di tempat terbuka, jangan membeli kacamata murah meriah di Alun-Alun Solo atau jalan ABC Bandung. Di bawah panas matahari, lensanya akan memuai dan ukurannya tidak lagi pas. Abaikan nasehat ini jika toleransi mata anda cukup besar.

Delapan Belas, prinsip backpacker: travel bag tidak akan muat menampung semua barang yang anda inginkan, tapi travel bag pasti muat menampung semua barang yang anda butuhkan.

Sembilan Belas, “People cannot do something themselves, they wanna tell you you cannot do it. If you want something, go get it. Period.” - Christopher Gardner, Pursuit of Happyness

Dua Puluh, ketika mentraktir dinner, keluarkanlah uang dua ratus ribu untuk dua gelas minuman saja. Ingat, dua ratus ribu untuk dua gelas. Bukan dua ember.

by Wirawan Winarto http://wirawan.blogsome.com