Selasa, 20 Juli 2010

“Kalau nanti gituan jangan ngariel,” kata seorang kawan saya. Istilah ngariel yang jelas tidak baku secara bahasawi ini kurang lebih bermakna merekam adegan senggama dari sudut pandang orang pertama. Singkatnya, video porno berdikari.

Ketika sudah sampai ranah seksual, bangsa ini paling gemar angkat bicara. Tidak terkecuali ketika adegan yang melibatkan tiga serangkai Ariel, Luna, dan Tari merebak. Tabu. Tidak sesuai budaya bangsa. Memalukan. Kata mereka. Ini bukan tulisan soal Ariel. Ini tulisan soal kita sebagai bangsa yang sebelumnya tidak pernah malu-malu mengekspos kemaluan.

Kultur Indonesia

Kaisar Romawi membangun toilet umum berukuran raksasa di jantung kota. Di sanalah penduduk Romawi terbiasa jongkok buang air besar rame-rame di ruang terbuka. Ya. Mereka melakukannya sambil ngobrol seakan-akan itu adalah hal yang alami. Ralat. Karena hal itu memang alami.

Namun entah sejak kapan manusia mulai menyerukan nilai-nilai moral yang berbeda. Yang mana kini kita semua juga manut : ketelanjangan itu kotor, seksualitas itu tabu, dan hasrat seksual itu berbahaya. Segala sesuatu yang membangkitkan hasrat seks harus diberantas.

Bicara hikayat seks, penduduk nusantara ini dahulu bukanlah bangsa yang malu-malu bicara soal persetubuhan dan ketelanjangan. Katakanlah Candi Sukuh yang sohor itu, empat puluh kilometer dari kota kelahiran saya, kerap dilabeli sebagai candi porno. Mengapa? Sebab setiap elemen candi tersebut secara frontal memamerkan ketelanjangan dan persetubuhan. Seksualitas publik.

Jangan heran apabila ketika melangkah masuk kita disambut dengan relief yang menggambarkan sosok pria dan wanita yang sedang bermasturbasi, arca penis setinggi satu meter yang senantiasa ereksi selama enam abad, dan pahatan sepasang penis dan vagina yang serba blak-blakan.

Adakah itikad jorok di sana? Tentu saja tidak. Candi tersebut pada hakekatnya adalah altar ibadah yang disucikan. Seksualitas ditanggapi sebagai suatu hal yang lumrah. Sekali lagi, karena hal itu sebenarnya memang lumrah.

Candi Sukuh bukanlah perkecualian. Di Jawa Timur juga ada Candi Panataran yang menampilkan relief adegan-adegan mesra persetubuhan antara Panji dengan Candrakirana. Keduanya hanyalah contoh dari sekian banyak peninggalan erotisme nusantara. Intinya, seksualitas bukanlah sesuatu yang tabu untuk dipertontonkan di ruang publik pada saat itu.

Erotisme mendarah daging di nusantara, bukan semata peninggalan Hindu dan Buddha. Di bawah pemerintahan Susuhunan Pakubuwono V, sejumlah pujangga mengarang kitab legendaris berjudul Suluk Tambangraras Amongraga atau Serat Centhini, di antaranya Raden Ngabehi Ranggawarsita yang masyhur dan Kyai Haji Muhammad Ilhar.

Serat Centhini adalah Kamasutra versi Indonesia.

Isinya sama sekali tak ditutup-tutupi. Mulai dari panduan agar wanita mencapai orgasme, titik-titik sensitif pada tubuh wanita, cara pria mencegah ejakulasi dini, dan berbagai gaya senggama. Tidak tersirat sama sekali rasa malu, apalagi pandangan seksualitas sebagai ihwal yang kotor.

Zaman Victoria

Ketika bangsa-bangsa Timur sudah mampu menyikapi seksualitas secara dewasa, tidak demikian halnya dengan bangsa-bangsa Barat. Bangsa Britania, misalnya, sempat terkurung oleh pemikiran puritan pada era Victoria : seksualitas adalah tabu dan hasrat seks itu berbahaya. Segala hal yang dianggap mampu membangkitkan hasrat seksual harus ditutupi, bahkan dibasmi.

Saya tidak langsung menghakimi, namun ada kalanya pembatasan ibarat pedang bermata dua.

Kita belajar dari sejarah Victoria. Pada era tersebut, seksualitas menjadi urusan yang diharamkan publik. Bukan lagi urusan pribadi. Ratu Inggris menganggap tubuh wanita sebagai cermin kesucian dan mewajibkan seluruh wanita menutup tubuhnya. Masyarakat dipaksa bernaung di bawah strict moral code yang menggambarkan seksualitas sebagai hal yang tabu.

Akibatnya? Usaha mengatur moral masyarakat ini justru membuat seks menjadi bombastis. Setiap hal yang berbau seks menjadi spektakuler. Masyarakat mengharamkan namun secara manusiawi mereka tentu saja menikmatinya. Ini karena hasrat seksual itu sejatinya adalah alamiah!

Ironisnya, bangsa Indonesia berada di sana sekarang. Kita mundur dua abad.

Saya tidak terkejut ketika melihat masyarakat mencaci-maki Ariel karena tindakannya, sementara mereka tetap menonton videonya. Karena penasaran, katanya. Itulah. Hipokrit. Seksualitas yang seharusnya sesuatu yang alamiah sudah berubah menjadi komoditas yang sensasional. Ini karena masyarakat kita dikekang dan bukan diedukasi.

Saya jadi teringat kepada tulisan Gunawan Muhammad yang mengisahkan kunjungannya ke Arab Saudi. Istri beliau yang berpakaian serba tertutup, bercadar, berjalan melintasi jalanan di Riyadh ketika tiba-tiba dua buah mobil penuh laki-laki mengikutinya dan mengitarinya. Seluruh mata yang ada di mobil itu nyalang memelototi perempuan yang tubuhnya tertutup itu. Ya. Tertutup.

Barangkali hal tersebut bisa menjadi contoh ironi masyarakat puritan.

Tidak ingin saya mengomentari video Ariel dan Luna. Namun melihat reaksi masyarakat kita yang menyedihkan, saya merasa ada yang salah di dalam edukasi bangsa ini. Yang saat ini dibutuhkan oleh bangsa Indonesia bukanlah pengekangan. Segala bentuk pengekangan hanya akan membuat seks menjadi semakin bombastis. Segala hal berbau seks justru akan menjadi sensasi, apalagi di tengah derasnya arus informasi yang hampir mustahil dibendung.

Bangsa ini perlu kembali ke titahnya untuk tidak puritan menyikapi seks. Kita butuh edukasi.


by Wirawan Winarto http://wirawan.blogsome.com

0 komentar:

Posting Komentar