Kamis, 21 April 2011

Bangun Kebiasaan Baik Anak dari Rumah
Dini | Jumat, 15 April 2011 | 14:25 WIB

KOMPAS.com - Sekolah berawal dari rumah. Sebelum berguru dengan pengajar di sekolah, anak-anak lebih dulu mendapat pendidikan dari orang tuanya. Kita menyebutnya pelajaran keterampilan hidup. Menurut Toge Aprilianto, MPsi, dalam bukunya Saatnya Melatih Anakku Berpikir, keterampilan hidup dapat mengembangkan potensi yang dimiliki anak secara optimal. Hal inilah yang nantinya akan memampukan anak menjalani kehidupannya dengan nyaman.

Lantas, bagaimana jika anak menunjukkan perlawanan saat kita berusaha untuk memasukkan ketrampilan itu ke dalam dirinya? Menurut Hal Edward Runkel, terapis keluarga sekaligus penulis buku Scream Free Parenting, perlawanan timbul karena orang tua menempatkan posisinya sebagai "pemerintah" dan "penuntut" pada anak. Padahal, tidak harus sampai begitu. Kita bisa menerapkan trik-trik pintar yang memudahkan anak menyerap apa yang kita ajarkan.

Lebih lanjut, coba telusuri apa saja contoh ketrampilan yang perlu dimiliki anak. Lalu, terapkan dengan tanpa harus terlalu memaksa sesuai tahapan usia. Tak perlu adu kata-kata, atau bahkan adu otot.

Usia 2-5 tahun
Toge mengemukakan, pada usia inilah, anak biasanya memiliki kemampuan dasar untuk membangun ketrampilan memilih yang enak dan menolak yang tidak enak. Pada masa ini, anak juga mulai belajar:

1. Melepas dot atau bantal kesayangan
Caranya: Alihkan perhatian anak dari dotnya. Coba berikan ia mainan pengalih seperti boneka atau buku. Jadi, jangan sampai kita mengambil paksa dotnya, tapi tak memberikan ia pengalih apapun. Anjuran ini juga diungkapkan oleh Joshua Sparrow, MD, asisten profesor psikiater di Harvard Medical School sekaligus tim penulis buku Touchpoints Three to Six: Your Child Emotional and Behavioral Development.

Lakukan saat: Anak sudah sanggup memilih apa yang ia inginkan. Bila belum, anak biasanya memilih alternatif yang kita sebut terakhir. Misalnya, kita sediakan "dot atau mainan", maka anak akan menjawab "mainan". Begitu juga sebaliknya, "mainan atau dot", maka anak akan menjawab "dot".

2. Kosakata baru
Caranya: Perkenalkan sebanyak mungkin kata baru. Gunakan kartu kosakata bergambar. Latih juga kemampuan anak dalam mendengar, misalnya dengan memutar video atau lagu. Plus, tak usah ragu mengenalkan istilah baru meski tak lazim.

Lakukan saat: Mengisi waktu luang dengan anak lewat bermain dan mengobrol. Ayah dan ibu sebaiknya melakukan ini bersama-sama. Mengenai hal ini, penelitian dari Journal of Applied Psychology dilakukan terhadap keluarga di mana ayah dan ibunya sama-sama bekerja. Hasilnya: sosok ayah berperan besar mengembangkan bahasa anak, khususnya di usia 2-3 tahun.

3. Berkenalan dan bersalaman
Caranya: Ajarkan metode 3B: beri senyuman, berdiri tegak, dan berkata lantang. Plus, 3M: mengingat nama, menyebutkan ulang, sambil menjabat tangan. Ini saran dari Sheryl Elberly, penulis buku 365 Manners Kids Should Know.

Lakukan saat: Anak ingin memulai percakapan dengan orang baru. Beri pengertian agar anak tidak menolak ajakan perkenalan atau malah menjauh. Selain itu, latih juga ia untuk selalu mengucapkan nama temannya ketika akan berpisah. Cara ini efektif untuk menumbuhkan rasa percaya diri sekaligus melatih kemampuan mengingat.

Usia 6-9 tahun
Pada tahapan usia kali ini, Toge menyampaikan bahwa kemampuan anak semakin berkembang. Mereka sudah mulai membangun keterampilan memperjuangkan keinginan, menghadapi akibat, dan menciptakan solusi. Di usia ini anak bisa diajak belajar:

1. Minta bantuan ketika tersesat
Caranya: Minta anak untuk mengingat nama ayah atau ibunya. Juga kenalkan anak pada sosok polisi, kasir, atau resepsionis. Katakan, jika tersesat hampiri mereka untuk minta tolong.

Lakukan saat: Kita dan anak tengah berada di tempat umum seperti pusat perbelanjaan. Ajari anak sambil bermain simulasi. Ketika di mal, katakan padanya, "Ayo kita bermain. Pura-puranya kamu sedang tersesat. Kira-kira apa yang akan kamu lakukan?"

2. Menerima dan merespon kritikan
Caranya: Bantu ia memahami konsep konsekuensi. Ajarkan konsekuensi jujur seperti, "Kalau kamu nakal, kamu tidak akan disukai teman-teman."

Lakukan saat: Ia berbuat salah. Beritahu apa kesalahannya, lalu tegurlah dengan nada tegas namun tak menghakimi. Beri juga mereka waktu untuk mencerna dan merasakan emosi yang timbul. Jika sudah tuntas, jangan diungkit-ungkit lagi kesalahannya.

3. Memecahkan masalah dengan tenang
Caranya: Tumbuhkan rasa kemandirian anak. Abaikan jika ia minta dibela. Orang tua cukup mengawasi, tapi tak ikut campur. Begitu anjuran dari Anthony Wolf, psikolog anak dan penulis buku Mom, Jason's Breathing on Me! The Solution to Sibling Bickering. "Dengan rasa mandiri, anak akan terbiasa menyelesaikan masalahnya secara tenang," kata Derrek Lee, pendiri Chicago Cubs. Ini jauh lebih menguntungkan ketimbang anak bereaksi dengan kasar.

Lakukan saat: Kita tengah mendampingi anak menyaksikan tayangan televisi, baik berupa berita ataupun film. Penting untuk menjelaskan pada mereka bahwa adegan kekerasan bukanlah jalan terbaik dalam menyelesaikan masalah.

Usia 10 +
Selanjutnya, pada tahapan usia ini, Toge bilang, anak sudah mulai menentukan perilaku dan mengatur strategi sebagai pelengkap keterampilan hidup. Misalnya, anak mulai belajar:

1. Berempati dan sabar
Caranya: Sering bertanya kepada anak mengenai pendapatnya jika berada pada situasi yang sulit. Sebagai contoh, "Kalau temanmu sakit, sikapmu bagaimana?" Menurut Runkel, melatih anak menjawab pertanyaan seperti ini akan membantu mengasah emosinya.

Lakukan saat: Kita mengantar anak ke sekolah, makan di luar, atau tengah berdua dengannya. Jika kita menemukan jawaban yang kurang pas, beri respons dengan lembut dan arahkan dia untuk punya pandangan positif.

2. Membaca label kemasan
Caranya: Bantu anak memahami istilah pada kemasan. "Anak akan cepat belajar memilih makanan jika diajari secara berkala," kata David Katz, MD, MPH, asisten profesor bidang kesehatan masyarakat di Yale University. Trik lain: Gunakan peraga untuk menunjukkan berapa banyak gula dan garam yang terdapat dalam makanan. Atau bisa juga dengan mengikuti panduan makan sehat bagi anak di situ-situs kesehatan.

Lakukan saat: Berbelanja bulanan atau berburu jajanan bersama. Tunjukkan berbagai variasi makanan yang lebih sehat di antara makanan lainnya. Lalu, biarkan anak menentukan pilihannya. Jika ia memilih jajanan tak sehat, beritahu kalau zat ini tak baik bagi tubuh jika dikonsumsi dalam jumlah banyak.

3. Menggunakan kebebasan
Caranya: Gunakan sistem imbalan. Misalnya, anak baru boleh main kalau ia sudah selesai mengerjakan tugas. Sepakati juga berapa lama jam main anak. Lalu tanyakan, ia akan bermain ke mana. "Kalau anak punya alasan logis, setujui saja. Jika tidak, maka sudah selayaknya kita melarangnya," kata psikolog Janet Edgette.

Lakukan saat: Anak sudah bisa memutuskan mana hal yang prioritas yang mau ia kerjakan. Plus, kalau anak sudah pandai membagi waktu dan mengatur jadwalnya sendiri, serta mampu menyelesaikan semua tugas-tugasnya dengan baik.

(Prevention Indonesia/Intan Sari Boenarco/Siagian Priska)
6 Pilar Pengasuhan Positif pada Anak
Maria Natalia | Dini | Rabu, 9 Maret 2011 | 08:48 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com — Tak ada sekolah khusus untuk menjadi orangtua. Tetapi, orangtua tetap perlu belajar menerapkan pola pengasuhan yang positif pada anak agar dapat membentuk karakter positif anak di masa depan. Ilmu pengasuhan ini dapat Anda peroleh dari berbagai sumber, seperti seminar atau artikel di majalah dan buku-buku.

Pada dasarnya, ada enam pilar penting dalam pengasuhan anak, demikian menurut Hanny Muchtar Darta, saat peluncuran sekaligus bedah bukunya, Six Pillars of Positive Parenting, di arena Islamic Book Fair, Istora Senayan, Jakarta, Selasa (8/3/2011). Hal ini yang belum diketahui orangtua pada umumnya.

"Tanpa disadari, masih banyak orangtua yang menerapkan pola asuh atau pendekatan negatif dalam mengasuh dan mendidik anak-anaknya. Sebagai orangtua saya mengusahakan untuk belajar. Saya belajar untuk anak-anak saya, termasuk mempelajari enam pilar dalam mendidik anak-anak. Ini juga berdasarkan pribadi saya sebagai orangtua," ungkap Hanny.

Pilar pertama yang dimaksudnya adalah, kemitraan atau kerja sama antara ayah dan ibu (partnership parenting). Orangtua harus belajar bekerja sama dengan baik, terutama dalam mengajarkan nilai-nilai kehidupan kepada anak. Jangan sampai ada perbedaan pendapat dalam mengajarkan kedisplinan dan norma-norma kehidupan. Dengan demikian, anak akan mematuhi bimbingan orangtua karena melihat baik ayah maupun ibunya sepakat memberikan pandangan yang sama.

Pilar kedua terdiri atas "4B", lanjut Hanny, yaitu belailah, bicaralah, bermain, dan berpikir. Hanny memaparkan hasil penelitian Dr Harold Voth, psikiater dari Kansas, Amerika, mengenai unsur belaian. Berapa kali belaian yang Anda berikan pada anak setiap harinya akan memengaruhi tumbuh-kembangnya. Misalnya, empat belaian pada anak dalam sehari bisa membuat anak selalu survive. Delapan belaian sehari dapat mendukung masa tumbuh anak. Sedangkan 12 belaian akan membuat anak sehat secara fisik maupun emosi. Fungsi belaian ini pun berlaku bagi pasangan suami-istri. Belaian mampu mengusir depresi, membuat kita awet muda, tidur lebih nyenyak, dan meningkatkan kekebalan tubuh.

Kemudian Hanny menganjurkan orangtua untuk menjalin komunikasi dengan anak. Komunikasi dapat dilakukan dengan banyak cara, salah satunya dengan membacakan buku untuk anak dan menanyakan pendapatnya mengenai isi buku itu.

Selain ngobrol, orangtua juga harus menyempatkan waktu untuk mengajak anak bermain dengan melibatkan fisik. Pada kesempatan bermain, peran ayah jauh lebih besar untuk mengajak anak melakukan kegiatan seperti olahraga maupun melakukan permainan lain. Tak hanya bermain secara fisik, anak juga harus diajarkan bermain dengan menggunakan ekspos pikiran. Hal ini membantu anak untuk mengelola alam pikirannya. Latihan berpikir juga membantu anak mengomunikasikan apa yang dipikirkannya karena belum tentu pikiran anak dan orangtua sama.

Pilar ketiga, antara orangtua dan anak selalu ada kesepakatan dalam melaksanakan kedisiplinan, dan terapkan aturan secara konsisten. Aturan tidak harus selalu dibuat oleh orangtua. Contohnya dalam menyepakati jam belajar. Anak dan orangtua bisa berdiskusi, berapa jam yang dibutuhkan anak untuk mengulang pelajaran sekolahnya. Orangtua menunjukkan cinta kasih tetapi tetap dengan ketegasan.

"Pilar keempat, orangtua harus memahami emosi negatif anak sejak dini. Ketika anak kita sedih dan menangis, tanyakan mengapa ia sedih, atau apa yang membuatnya menangis. Kita coba pahami perasaan anak untuk memperbaiki emosi-emosi negatifnya," ujar Hanny.

Pilar kelima, yaitu pentingnya gaya bahasa positif agar anak sehat secara fisik dan emosional. Pada bagian ini, Hanny mengutip pernyataan dari Task Force for Personal and Social Responsibilities di Amerika yang menjelaskan bahwa setiap harinya orang mendengarkan 432 kata dan kalimat negatif, dan hanya 32 kata dan kalimat positif. Sebanyak 80 persen kata-kata tersebut menyakitkan, memberikan dampak psikologis yang buruk, dan tidak memotivasi orang untuk bangkit. Sisanya, 20 persen orang bertahan meskipun mendengar kata-kata tersebut. Oleh karena itu, orangtua perlu belajar untuk tidak marah secara berlebihan, apalagi mengancam anak.

Pilar terakhir dalam buku ini, orangtua harus menerapkan pola asuh tanpa hukuman. Ternyata hukuman saja tidak membuat anak mampu melakukan perubahan positif. Orangtua sepatutnya memberikan kebebasan pada anak, bukan dalam arti kebebasan penuh, melainkan membiarkannya memilih konsekuensi dari tindakan yang dilakukannya. Dengan demikian anak bisa memetik pelajaran atas apa yang sudah dilakukannya.

Selain memaparkan tentang pilar-pilar pengasuhan anak, buku ini juga membeberkan hasil penelitian para ahli dan serangkaian cerita-cerita tentang keluarga.
Oleh Yudhistira ANM Massardi

KOMPAS.com - Jika orientasi pendidikan adalah untuk mencetak tenaga kerja guna kepentingan industri dan membentuk mentalitas pegawai, --katakanlah hingga dua dekade ke depan--, yang akan dihasilkan adalah jutaan calon penganggur. Sekarang saja ada sekitar 750.000 lulusan program diploma dan sarjana yang menganggur.

Jumlah penganggur itu akan makin membengkak jika ditambah jutaan siswa putus sekolah dari tingkat SD hingga SLTA. Tercatat, sejak 2002, jumlah mereka yang putus sekolah itu rata- rata lebih dari 1,5 juta siswa setiap tahun.

Dalam "kalimat lain", ada sekitar 50 juta anak Indonesia yang tak mendapatkan layanan pendidikan di jenjangnya. Jadi, untuk apa sebenarnya generasi baru bangsa bersekolah hingga ke perguruan tinggi?

Jika jawabannya agar mereka bisa jadi pegawai, fakta yang ada sekarang menunjukkan orientasi tersebut keliru. Dari sekitar 105 juta tenaga kerja yang sekarang bekerja, lebih dari 55 juta pegawai adalah lulusan SD! Pemilik diploma hanya sekitar 3 juta orang dan sarjana sekitar 5 juta orang. Jika sebagian besar lapangan kerja hanya tersedia untuk lulusan SD, lalu untuk apa anak-anak kita harus buang-buang waktu dan uang demi melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi?

Sir Ken Robinson, profesor pakar pendidikan dan kreativitas dari Inggris, dalam orasi-orasinya, yang menyentakkan ironisme: menggambarkan betapa sekarang ini sudah terjadi inflasi gelar akademis sehingga ketersediaannya melampaui tingkat kebutuhan. Akibatnya, nilainya di dunia kerja semakin merosot.

Lebih dari itu, ia menilai sekolah-sekolah hanya membunuh kreativitas para siswa. Maka, harus dilakukan revolusi di bidang pendidikan yang lebih mengutamakan pembangunan kreativitas.

Paul Krugman, kolumnis The New York Times yang disegani, dalam tulisannya pada 6 Maret 2011, menegaskan fakta-fakta di Amerika Serikat bahwa posisi golongan kerah putih di level menengah— yang selama beberapa dekade dikuasai para sarjana dan bergaji tinggi--, kini digantikan peranti lunak komputer. Lowongan kerja untuk level ini tidak tumbuh, malah terus menciut. Sebaliknya, lapangan kerja untuk yang bergaji rendah, dengan jenis kerja manual yang belum bisa digantikan komputer, seperti para petugas pengantaran dan kebersihan, terus tumbuh.

Kreativitas dan imajinasi

Fakta lokal dan kondisi global tersebut harus segera diantisipasi oleh para pemangku kepentingan dalam dunia pendidikan. Persepsi kultural dan sosial yang mengangankan bahwa semakin tinggi jenjang pendidikan semakin mudah mendapatkan pekerjaan adalah mimpi di siang bolong!

Namun, jika orientasi masyarakat tetap untuk "jadi pegawai", yang harus difasilitasi adalah sekolah-sekolah dan pelatihan-pelatihan murah dan singkat. Misalnya untuk menempati posisi operator, baik yang manual seperti pekerjaan di bidang konstruksi, manufaktur, transportasi, pertanian, ataupun yang berbasis komputer di perkantoran.

Untuk itu, tak perlu embel-embel (sekolah) "bertaraf internasional" yang menggelikan itu karena komputer sudah dibuat dengan standar internasional. Akan tetapi, kualitas peradaban sebuah bangsa tak cukup hanya ditopang oleh para operator di lapangan. Mutlak perlu dilahirkan para kreator yang kaya imajinasi. Oleh karena itu, seluruh potensi kecerdasan anak bangsa harus dibangun secara lebih serius yang hanya bisa dicapai jika rangsangannya diberikan sejak usia dini.

Maka, diperlukan metode pengajaran yang tak hanya membangun kecerdasan visual-auditori-kinestetik, juga kreativitas dan kemandirian. Kata kuncinya adalah "kreativitas" dan "imajinasi"; dua hal yang belum akan tergantikan oleh komputer secerdas apa pun!

Zaman terus berubah. Sistem pendidikan dan paradigma usang harus diganti dengan yang baru. Era teknologi analog sudah ketinggalan zaman. Kini kita sudah memasuki era digital. Itu artinya, konsep tentang ruang dan waktu pun berubah.

Hal-hal yang tadinya dikerjakan dalam waktu panjang, dengan biaya tinggi, dan banyak pekerja, jadi lebih ringkas. Maka, tujuan paling mendasar dari suatu sistem pendidikan baru harus bisa membangun semangat "cinta belajar" pada semua peserta didik sejak awal. Dengan spirit dan mentalitas "cinta belajar", apa pun yang akan dihadapi pada masa depan, mereka akan bisa bertahan untuk beradaptasi, menguasai, dan mengubahnya.

Membangun semangat "cinta belajar" tak perlu harus ke perguruan tinggi. Kini seluruh ilmu pengetahuan sudah tersedia secara digital, bisa diakses melalui komputer di warnet ataupun melalui telepon genggam. Jadi, cukup berikan kemampuan menggunakan komputer, mencari sumber informasi yang dibutuhkan di internet, dan bahasa Inggris secukupnya karena di dunia maya tersedia mesin penerjemah aneka bahasa yang instan.

Anak-anak cukup sekolah 12 tahun saja (mulai dari pendidikan anak usia dini, PAUD)! Mereka tidak usah jadi pegawai. Dunia kreatif yang bernilai tinggi tersedia untuk mereka, sepanjang manusia masih ada.

Penulis adalah Sastrawan; Pengelola Sekolah Gratis untuk Dhuafa, TK-SD Batutis Al-Ilmi Bekasi

Senin, 14 Maret 2011

http://www.gusdur.net/Pemikiran/Detail/?id=91/hl=id/Anatomi_Sebuah_Pendapat

“Terserah deh”, balasan singkat itu saya kirim, prosesi santap malam pun dilanjutkan. Tidak lama kemudian kawan perempuan saya tadi membalas : “Jangan marah donk, kalau kamu nggak mau nggak apa-apa kok”. Lho, kok tiba-tiba dia berpikir saya marah?

Manusia tidak diciptakan untuk berkomunikasi via teks. Butuh beberapa saat bagi saya menyadari bahwa “terserah deh” tadi punya sejumlah kanal konotasi. Dengan elaborasi, konteks pesan saya tadi adalah ‘terserah, apapun keputusanmu, aku bisa ngerti’. Tanpa sarkasme. Namun teman saya menangkapnya sebagai ‘terserah. lu mau dinner bareng Sumanto juga gue kaga peduli‘.

Lost In Transition

Ada seorang klien yang nampak amat menyebalkan sepanjang kami berdua terikat dalam obrolan via surat elektronik. Setelah sejumlah fase tidak berhasil menciptakan rapport, saya menemuinya di sebuah kafe. Perbincangan singkat selama lima belas menit di gerai kopi itu mengakhiri seluruh kesalahpahaman yang terjadi. Kami mengakhiri pertemuan dengan kesepakatan yang friendly.

Sebelumnya, saya berpikir dia orang menyebalkan. Sementara dia menduga saya apatis terhadap masalahnya. Dari mana kami berdua mendapatkan kesimpulan itu? Dari asumsi ngawur.

Ada kecenderungan bagi resipien untuk menerjemahkan e-mail atau SMS sesuai dengan emosinya saat itu. Demikian pula, ada kecenderungan pengirim untuk merasa yakin bahwa resipien paham seperti apa emosinya saat mengirimkan pesan tadi. Sayangnya, pandangan egois itu keliru. Emosi pengirim tidak serta merta ikut tertranslasi bersama teks yang mereka kirim.

Riset yang dilakukan Nicholas Epley dan Justin Kruger cukup mewakili. Riset tersebut menyatakan bahwa 80% penulis e-mail yakin bahwa e-mailnya tidak akan disalahpahami. Demikian pula 90% penerima e-mail yakin bahwa mereka tidak mungkin salah dalam mengintepretasikan e-mail yang mereka terima. Faktanya, hanya 50% e-mail yang berhasil diintepretasikan secara akurat.

Artinya, peluang anda menangkap intensi lawan bicara via teks hanyalah fifty-fifty.

Oke! Tetapi teks hanya sebagian kecil dari komunikasi kita kan? Tidak juga. Sekarang coba hitung berapa banyak kenalan anda yang selama ini berkomunikasi dengan anda hanya via online?

Ada peluang bahwa selama ini mereka telah salah memahami kepribadian anda.

Asumsikan sepertiga dari mereka salah paham dengan poin tertentu dari sifat anda. Apakah orang yang membenci anda di dunia maya itu benar-benar membenci anda atau hanya termakan asumsi mereka sendiri? Demikian pula sebaliknya, bagaimana dengan orang yang menyukai anda? Tidak cukup sampai sini, bagaimana dengan orang yang anda benci di dunia maya? Apakah anda hanya salah mengintepretasikan? Bagaimana dengan orang yang anda sukai di dunia maya?

Texting Is Flawed

Satu karakter saya yang tenggelam dalam percakapan online adalah kharisma. Butuh usaha untuk memancarkan charm ke dalam tulisan-tulisan saya. Di dalam blog seperti ini, hal itu agaknya bisa diminimalisir karena kebebasan berekspresi lumayan besar. Namun bagaimana dengan SMS yang hanya 160 karakter? Kita tidak punya banyak pilihan.

Kharisma hanyalah salah satu trait. Bagaimana dengan sifat-sifat yang lainnya?

Hanya 7% efektivitas komunikasi ditentukan oleh faktor verbal, 93% sisanya ditentukan faktor non-verbal yang meliputi intonasi, ekspresi, dan gestur.

Barangkali karena alasan serupa, Scott Fahlman menciptakan smileys emoticons. Meskipun cukup membantu, emoticons tidak cukup untuk memecahkan permasalahan ini.

Sebuah riset lain menyatakan bahwa faktor verbal hanya menentukan 7% efektivitas komunikasi sementara 93% sisanya ditentukan faktor non-verbal. Termasuk di antaranya intonasi, raut muka, dan gestur. Dengan berdialog melalui teks, berarti anda mengharapkan lawan bicara menangkap intensi anda dengan hanya memberikan 7% clue. Bisa? Mungkin bisa. Namun peluang untuk salah mengintepretasikan juga sangat besar. Lima puluh persen, menurut eksperimen sebelumnya.

Itulah mengapa texting, berdialog via teks, adalah moda komunikasi yang buruk. Sangat buruk.

Pengalaman bersama klien tadi mengingatkan saya untuk sedapat mungkin bertatap muka dahulu dengan lawan bicara. Minimal engage dalam dialog singkat, sebelum memulai percakapan melalui e-mail atau SMS. Jangan sampai kesan pertama dibangun melalui teks, karena hal itu akan mudah disalahartikan. Karena kesan pertama biasanya menjadi pondasi hubungan selanjutnya.

Apakah anda lebih suka berkirim teks daripada menelepon atau bertemu?

http://wirawan.blogsome.com/

Keutamaan Masjid Bagi Kaum Muslimin

Dari Masjid Kita Bangkit
At Tauhid edisi VI/29
Oleh: Hanif Nur Fauzi

Masjid memiliki peran yang sangat besar dalam perkembangan dakwah Islam dan penyebaran syiar-syiar agama Islam. Di sanalah tempat didirikan sholat jama’ah dan berbagai kegiatan kaum muslimin. Seluruh manusia yang membawa perbaikan terhadap umat Islam ini, merupakan produk ‘jebolan pendidikan’ yang berawal mula dari masjid.

Keutamaan Masjid

Masjid merupakan sebaik-baik tempat di muka bumi ini. Di sanalah tempat peribadatan seorang hamba kepada Allah, memurnikan ibadahnya hanya untuk Allah semata. Dari sanalah titik pangkal penyebaran tauhid. Allah telah memuliakan masjid-masjid-Nya dengan tauhid. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah kepunyaan Allah. Maka janganlah kamu menyembah seseorangpun di dalamnya di samping (menyembah) Allah”. (QS. Al Jin: 18)

Tidak ada tempat yang lebih baik dari pada masjid Allah di muka bumi. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tempat yang paling dicintai oleh Allah dalam suatu negeri adalah masjid-masjidnya dan tempat yang paling Allah benci adalah pasar-pasarnya.” (HR. Muslim)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam suatu ketika pernah ditanya, “Tempat apakah yang paling baik, dan tempat apakah yang paling buruk?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Aku tidak mengetahuinya, dan Aku bertanya kepada Jibril tentang pertanyaan tadi, dia pun tidak mengetahuinya. Dan Aku bertanya kepada Mikail dan diapun menjawab: Sebaik-baik tempat adalah masjid dan seburuk-buruk tempat adalah pasar”. (Shohih Ibnu Hibban)

Masjid adalah pasar akhirat, tempat bertransaksinya seorang hamba dengan Allah. Di mana Allah telah menawarkan balasan surga dan berbagai kenikmatan di dalamnya bagi mereka yang sukses dalam transaksinya dengan Allah.

Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu mengatakan,“Masjid adalah rumah Allah di muka bumi, yang akan menyinari para penduduk langit, sebagaimana bintang-bintang di langit yang menyinari penduduk bumi

Orang yang membangun masjid, ikhlas karena mengharap ganjaran dari Allah ta’ala akan mendapatkan ganjaran yang luar biasa. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang membangun suatu masjid, ikhlas karena mengharap wajah Allah ta’ala, maka Allah ta’ala akan membangunkan rumah yang semisal di dalam surga.” (Muttafaqun’alaihi)

Masjid dan Dakwah Islam

Dahulu ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hendak berjihad, berperang melawan orang-orang kafir, sebelum beliau menyerang suatu negeri, beliau mencari apakah ada kumandang suara adzan dari negeri tersebut atau tidak. Apabila beliau mendegar adzan maka beliau tidak jadi menyerang, namun bila tidak mendengar maka beliau akan menyerang negeri tersebut. (Muttafaqun ’alaihi)

Hal ini menunjukkan bahwa syiar-syiar agama yang nampak dari masjid-masjid kaum muslimin merupakan pembeda manakah negeri kaum muslimin dan manakah negeri orang-orang kafir. Adanya masjid dan makmurnya masjid tersebut dengan berbagai syiar agama Islam, semisal adzan, sholat jama’ah dan syiar lainnya, merupakan ciri bahwa negeri tersebut begeri kaum muslimin. (Lihat ‘Imaratul Masajid, Abdul Aziz Abdullah Al Humaidi, soft copy hal. 4)

Memakmurkan Masjid

Di antara ibadah yang sangat agung kepada Allah ta’ala adalah memakmurkan masjid Allah, yaitu dengan cara mengisinya dengan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bentuk memakmurkan masjid bisa pemakmuran secara lahir maupun batin. Secara batin, yaitu memakmurkan masjid dengan sholat jama’ah, tilawah Al quran, dzikir yang syar’i, belajar dan mengajarkan ilmu agama, kajian-kajian ilmu dan berbagai ibadah yang dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Sedangkan pemakmuran masjid secara lahiriah, adalah menjaga fisik dan bangunan masjid, sehingga terhindar dari kotoran dan gangguan lainnya. Sebagaimana diceritakan oleh Aisyah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memerintahkan manusia untuk mendirikan bangunan masjid di perkampungan, kemudian memerintahkan untuk dibersihkan dan diberi wangi-wangian. (Shohih Ibnu Hibban, Syuaib Al Arnauth mengatakan sanad hadits tersebut shahih sesuai syarat Bukhari)

Sholat Berjama’ah di Masjid

Salah satu syiar agama Islam yang sangat nampak dari adanya masjid Allah, adalah ditegakkannya sholat lima waktu di dalamnya. Ini pun merupakan salah satu cara memakmurkan masjid Allah ta’ala. Syariat Islam telah menjanjikan pahala yang berlipat bagi mereka yang menghadiri sholat jama’ah di masjid. Di sisi lain syariat memberikan ancaman yang sangat keras bagi orang yang berpaling dari seruan sholat berjama’ah.

Suatu ketika, tatkala tiba waktu sholat, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkeinginan meminta seseorang untuk mengimami manusia, kemudian beliau pergi bersama beberapa orang dengan membawa kayu bakar. Beliau berkeinginan membakar rumah orang-orang yang tidak menghadiri sholat jama’ah. Hal ini menunjukkan bahwa sholat jama’ah di masjid adalah wajib, karena ada hukuman bagi mereka yang meninggalkannya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Shalat seseorang (di masjid dengan berjama’ah) itu dilebihkan dengan 25 derajat dari shalat yang dikerjakan di rumah dan di pasar. Sesungguhnya jika salah seorang di antara kalian berwudhu kemudian menyempurnakan wudhunya lalu mendatangi masjid, tak ada keinginan yang lain kecuali untuk shalat, maka tidaklah ia melangkah dengan satu langkah pun kecuali Allah mengangkatnya satu derajat, dan terhapus darinya satu kesalahan…” (Muttafaqun ‘alaihi, dari shahabat Abu Hurairah)

‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Barangsiapa yang ingin berjumpa dengan Allah kelak dalam keadaan muslim, maka hendaklah dia menjaga sholat lima waktu tatkala dia diseru (dengan adzan). Sesungguhnya Allah telah mensyariatkan sebuah sunnah yang agung, dan sholat berjamaah adalah di antara sunnah tersebut. Seandainya kalian sholat di rumah-rumah kalian, sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang belakangan, maka sungguh kalian telah meninggalkan sunnah Nabi kalian. Jika kalian telah meninggalkan sunnah Nabi kalian, maka sungguh kalian telah berada dalam kesesatan.” (HR. Muslim)

Setelah nampak di hadapan kita khabar tentang pahala bagi orang yang menghadiri sholat jama’ah di masjid, dan ancaman bagi orang yang tidak menghadirinya, lantas masih adakah rasa berat di dalam hati kita untuk melangkah memenuhi seruan adzan? Allahul Muwaffiq.

Keutamaan Orang-orang yang Perhatian terhadap Masjid

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, bahwa kelak di hari kiamat ada tujuh golongan manusia yang akan mendapatkan pertolongan dari Allah ta’ala. Salah seorang di antaranya adalah para pecinta masjid. “Ada tujuh golongan manusia yang akan mendapatkan naungan dari Allah, tatkala tidak ada naungan selain naungan-Nya… Seseorang yang hatinya senantiasa terkait dengan masjid…” (Muttafaqun ‘alaihi).

Ibnu Hajar rahimahullahu menjelaskan makna hadits tersebut, “Hadits ini menunjukkan bahwa orang tersebut hatinya senantiasa terkait dengan masjid meskipun jasadnya terpisah darinya. Hadits tersebut juga menunjukkan bahwa keterkaitan hati seseorang dengan masjid, disebabkan saking cintanya dirinya dengan masjid Allah ta’ala”. (Lihat Fathul Bari)

Lalai dengan Pemakmuran Masjid

Banyak di antara kaum muslimin, sangat semangat dalam mendirikan dan membangun masjid. Mereka berlomba-lomba menyumbangkan banyak harta untuk mendirikan bangunan masjid di berbagai tempat, setelah masjid berdiri pun tidak lupa untuk menghiasnya dengan hiasan yang bermegah-megahan. Namun setelah bangunan beserta hiasan berdiri tegak, justru mereka tidak memanfaatkan masjid tersebut untuk solat jama’ah dan ibadah lainnya. Mereka sangka sumbang sih mereka dengan harta dan modal dunia tersebut sudah mencukupinya.

Saudaraku, memakmurkan masjid tidak semata-mata makmur secara fisik, memakmurkan masjid yang hakiki adalah dengan ketaatan kepada Allah, yaitu dengan sholat jama’ah, tilawah Al quran, pengajian-pengajian ilmiah dan lain sebagainya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengkhabarkan bahwa hal yang demikian merupakan salah satu tanda datangnya hari kiamat, “Tidaklah tegak hari kiamat sampai ada manusia yang bermegah-megahan dalam membangun masjid” (HR. Abu Dawud, dinilai shohih oleh Syaikh Al Albani)

Imam Al Bukhari rahimahullahu berkata dalam kitab shahihnya, Anas berkata, “Orang-orang bermegah-megahan dalam membangun masjid, mereka tidak memakmurkan masjid tersebut melainkan hanya sedikit. Maka yang dimaksud dengan bermegah-megahan ialah bersungguh-sungguh dalam memperindah dan menghiasinya”.

Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu berkata , “Sungguh kalian akan memperindah dan menghiasi masjid sebagaimana orang-orang Yahudi dan Nasrani memperindah dan menghiasi tempat ibadah mereka”. (HR. Bukhari, Kitab Ash-Shalah, Bab Bunyanil Masajid)

Renungkanlah, Back to basic!

Terlampau banyak penjelasan yang memaparkan keutamaan masjid sebagai benteng utama kekuatan kaum muslimin. Telah terbukti secara nash dan realita. Perjalanan hidup para pendahulu kita telah membuktikannya. Bukankah seluruh para ulama yang membawa perbaikan terhadap agama Islam adalah para pecinta masjid. Imam Malik rahimahullahu mengatakan, “Tidak akan pernah baik generasi akhir umat ini kecuali dengan perkara-perkara yang dengannya telah menjadi baik generasi awal umat Islam (yaitu generasi sahabat)

Maka apabila kita menghendaki kejayaan dan kemenangan kaum muslimin, maka hendaklah kita menempuh jalan yang ditempuh oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabat beliau radhiyallahu ‘anhum, yang mereka senantiasa perhatian terhadap masjid-masjid mereka, memakmurkan masjid-masjid Allah dengan ketaatan kepada-Nya. Mulialah dari masjid kita membangun umat ini, DARI MASJID KITA AKAN BANGKIT. Allahu A’laam bish showab. [Hanif Nur Fauzi]

http://buletin.muslim.or.id
At Tauhid edisi VI/50
Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Alhamdullillahilladzi hamdan katsiron thoyyiban mubaarokan fiih kamaa yuhibbu Robbunaa wa yardho. Allahumma sholli ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala aalihi wa shohbihi wa sallam.

Berikut adalah beberapa penjelasan mengenai berbagai adab menuju masjid ketika menghadiri shalat jama’ah dan amalan apa saja yang dilakukan sebelum shalat. Semoga bermanfaat.

Tinggalkanlah Berbagai Aktivitas Ketika Datang Panggilan Shalat

Dari Al Aswad, dia berkata bahwa dia menanyakan pada ‘Aisyah mengenai apa saja yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di rumahnya? ‘Aisyah menjawab, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa membantu pekerjaan keluarganya, ketika ada panggilan shalat jama’ah, beliau bergegas pergi menunaikan shalat.” (HR. Bukhari)

Bergegaslah Mendatangi Masjid dan Berusaha Untuk Datang Lebih Awal

Kenapa demikian? Yaitu agar seseorang memperoleh shaf pertama dan agar mendapatkan pahala karena menunggu shalat.

Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seandainya setiap orang tahu keutamaan adzan dan shaf pertama, kemudian mereka ingin memperebutkannya, tentu mereka akan memperebutkannya dengan berundi.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sebaik-baik shaf bagi laki-laki adalah shaf pertama, sedangkan yang paling jelek bagi laki-laki adalah shaf terakhir. Sebaik-baik shaf bagi wanita adalah shaf terakhir, sedangkan yang paling jelek bagi wanita adalah shaf pertama.” (HR. Muslim)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika seseorang memasuki masjid, dia berarti dalam keadaan shalat selama dia menunggu shalat.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Usahakan Berwudhu (Bersuci) di Rumah

Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa bersuci di rumahnya, kemudian dia berjalan menuju salah satu rumah Allah untuk menunaikan kewajiban yang Allah wajibkan, maka satu langkah kakinya akan menghapuskan kesalahan dan langkah kaki lainnya akan meninggikan derajatnya.” (HR. Muslim)

Menuju Masjid dengan Berjalan Kaki

Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Setiap langkah berjalan untuk menunaikan shalat adalah sedekah.” (HR. Muslim no. 2382)

Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Setiap langkah menuju tempat shalat akan dicatat sebagai kebaikan dan akan menghapus kejelekan.” (HR. Ahmad. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shohih)

Apakah perlu memperpendek langkah kaki?

Ada sebagian ulama yang menganjurkan bahwa setiap orang yang hendak ke masjid hendaknya memperpendek langkah kakinya. Akan tetapi, ini adalah anjuran yang bukan pada tempatnya dan tidak ada dalilnya sama sekali. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits hanya mengatakan ‘setiap langkah kaki menuju shalat dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengatakan ‘hendaklah setiap orang memperpendek langkahnya.’ Seandainya perbuatan ini adalah perkara yang disyari’atkan, tentu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan menganjurkannya kepada kita. Yang dimaksudkan dalam hadits ini adalah bukan memanjangkan atau memendekkan langkah, namun yang dimaksudkan adalah berjalan seperti kebiasaannya. (Lihat Syarh Al Arba’in An Nawawiyah, Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin pada penjelasan hadits no. 26)

Haruslah Tenang, Tidak Perlu Tergesa-gesa Menuju Masjid

Abu Qotadah mengatakan, “Tatkala kami menunaikan shalat bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika itu terdengar suara beberapa orang yang tergesa-gesa. Kemudian setelah selesai shalat beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Ada apa dengan kalian tadi?” Orang-orang yang tadi tergesa-gesa pun menjawab, “Kami tadi tergesa-gesa untuk shalat.” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berkata, “Janganlah kalian lakukan seperti itu. Jika kalian mendatangi shalat, bersikap tenanglah. Jika kalian mendapati imam shalat, maka ikutilah. Sedangkan apa yang luput dari kalian, sempurnakanlah.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika kalian mendengar adzan, berjalanlah menuju shalat, bersikap tenang dan khusyu’lah, janganlah tergesa-gesa. Jika kalian mendapati imam shalat, maka shalatlah. Sedangkan apa yang luput dari kalian, sempurnakanlah.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Bacalah Dzikir Ketika Berjalan Ke Masjid dan Ketika Masuk Masjid

Ketika keluar rumah, hendaklah setiap muslim membaca do’a: Bismillahi tawakkaltu ‘alallah laa hawla wa laa quwwata illa billah (Dengan nama Allah, aku bertawakkal kepada Allah, tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan-Nya).

Dari Anas bin Malik, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika seseorang keluar dari rumah, lalu dia mengucapkan “Bismillahi tawakkaltu ‘alallah, laa hawla wa laa quwwata illa billah” (Dengan nama Allah, aku bertawakkal kepada Allah, tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan-Nya), maka dikatakan ketika itu: “Engkau akan diberi petunjuk, dicukupkan, dijaga, dan setan pun akan menyingkir darinya”. Setan yang lain akan mengatakan: “Bagaimana mungkin engkau bisa mengganggu seseorang yang telah mendapatkan petunjuk, kecukupan dan penjagaan?!” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Kemudian ketika perjalanan menuju masjid, hendaklah membaca do’a: “Allahummaj’al fii qolbiy nuuron wa fii lisaaniy nuuron waj’al fi sam’iy nuuron waj’al fii bashoriy nuuron waj’al min kholfiy nuuron wa min amamaamiy nuuron, waj’al min fawqiy nuuron wa min tahtii nuuron. Allahumma a’thiniy nuuron. [Ya Allah, berikanlah cahaya di hatiku, pendengaranku, penglihatanku, di belakangku, di hadapanku, di atasku dan di bawahku. Ya Allah berikanlah aku cahaya]” (HR. Bukhari dan Muslim)

Ketika masuk masjid, ucapkanlah do’a: Allahummaftah lii abwaaba rohmatik (Ya Allah, bukakanlah padaku pintu rahmat-Mu).

Dari Abu Usaid, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika salah seorang di antara kalian memasuki masjid, ucapkanlah: Allahummaftah lii abwaaba rohmatik (Ya Allah, bukakanlah padaku pintu rahmat-Mu). Dan jika keluar dari masjid, ucapkanlah: Allahummaftah lii abwaaba min fadhlik (Ya Allah, bukakanlah padaku pintu kemuliaan-Mu).” (HR. Muslim)

Janganlah Menyela-nyela Jari-Jemari

Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika salah seorang di antara kalian berwudhu di rumahnya, kemudian mendatangi masjid, maka dia sudah teranggap berada dalam shalat sampai dia kembali. Oleh karena itu janganlah lakukan seperti ini: Menyela-nyela jari-jemari.” (HR. Hakim. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Kerjakanlah Shalat Tahiyyatul Masjid, Jangan Langsung Duduk

Dari Abu Qotadah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika salah seorang dari kalian memasuki masjid, maka janganlah dia duduk sampai dia mengerjakan shalat sunnah dua raka’at (shalat sunnah tahiyatul masjid).” (HR. Bukhari)

Janganlah Mengerjakan Shalat Sunnah Ketika Iqomah

Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila dikumandangkan iqomah, maka tidak ada shalat lagi selain shalat wajib.” (HR. Muslim)

Jangan Keluar dari Masjid Setelah Adzan

Abdurrahman bin Harmalah mengatakan, ”Seorang laki-laki datang menemui Sa’id bin Al Musayyib untuk menitipkan sesuatu karena mau berangkat haji dan umroh. Lalu Sa’id mengatakan kepadanya, ”Janganlah pergi, hendaklah kamu shalat terlebih dahulu karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah keluar dari masjid setelah adzan kecuali orang munafik atau orang yang ada keperluan dan ingin kembali lagi ke masjid.

Lalu orang ini mengatakan, ”(Tetapi) teman-temanku sedang menunggu di Al Harroh.” Lalu dia keluar (dari masjid). Belum lagi Sa’id menyayangkan kepergiannya, tiba-tiba dikabarkan orang ini telah jatuh dari kendaraanya sehingga pahanya patah.”

Hadits ini terdapat dalam Sunan Ad Darimi pada Bab ‘Disegerakannya hukuman di dunia bagi orang yang meremehkan perkataan Nabi dan tidak mengagungkannya’. Husain Salim Asad mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan.

Jangan Berdiri Ketika Iqomah Sampai Imam Berdiri

Dari Abu Qotadah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika iqomah sudah dikumandangkan, maka janganlah kalian berdiri sampai kalian melihatku berdiri.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam. [Muhammad Abduh Tuasikal]

http://buletin.muslim.or.id